WeLcOmE To My bLOgEr

AnnYong haSeO......T`rima KaC1h Ya sDh MengUnjunGi BloG sAyA





Rabu, 26 Januari 2011

K!saH pErJaLaNaN KuPu_KuPu



Malam mulai membayang, senja seolah menghilang, keindahan yang penuh keceriaan memudar. Kegelapan seolah menyelimuti sosok tubuh seorang lelaki. Setengah baya, sendiri, berdiri di atas bukit memandang lembah di bawahnya yang mulai memburam, diam termenung, menatap langit, jauh ke ujung sana, dimana batas yang tak berbatas. Kegelapan yang perlahan-lahan membungkus bayang-bayangnya, bahkan semakin membungkus tubuhnya. Perlahan sekali, sedikit demi sedikit tubuhnyapun seolah menyatu dengan kegelapan. Adakah dia tetap berdiri disana?. Ataukah sudah beranjak pergi mencari sudut terang di seberang sana.
Kediaman, kesendirian, kesunyian hadir disana bersama keberadaan lelaki itu. Seolah dia memang sudah berada disana sejak dahulu kala, dan mungkin akan tetap berada disana entah sampai kapan nanti. Tetap diam, dalam kesendirian, tegak terpekur menatap langit nun jauh disana. Meskipun kegelapan itu menyelimutinya, namun kesadaran seseorang yang mengamati lelaki itu, akan tetap yakin kalau dia tetap ada meskipun tidak terlihat, hilang tertutup kegelapan malam.
Kabut seolah menggantung menutupi lembah yang mulai diterangi kelap-kelip lampu rumah, semakin menebal, menutupi permukaan bumi, sementara sinar lampu yang melintas sekilas, membuktikan lelaki itu masih tetap diam terpaku disana. Malam yang semakin beranjak. Waktu yang berputar. Menyatu dalam diamnya.

Apa yang dicari lelaki itu dalam kegelapan, kesunyian yang tak henti, kebisuan tak berujung. Seolah tali tak berujung pangkal, yang menghubungkan jiwa. Ketika seluruh batas kesadaran terbuka, seolah seberkas sinar memercik bagai api yang membakar rumput kering. Aku adalah lelaki itu, dan lelaki itu adalah aku. Aku yang tengah mengembara menjelajah seluruh persada, menembus bumi, menyelusuri setiap jejak yang ada disana, menuju lereng-lereng bukit, menjelajah gunung, merengkuh puncaknya. Bermain di hijau dedauan, mencium harumnya bunga, berkejaran dengan burung, bersendau gurau dengan satwa liar. Melintas samudra, menuju dasarnya, merengkuh seluruh keindahan, memeluk ketentraman, dari setiap bagian yang ada, menjelajah alam, aku ada dimana-mana, meluas, melebar tak bertepi, menjangkau langit, menyentuh bulan, menjamah matahari, memetik bintang, mencumbu galaksi, mencapai batas yang ada, batas yang mampu terpikirkan. Duh, siapa aku?.

Aku seolah seperti laba-laba dengan jaring-jaring laba-laba yang membentang luas, atau seperti pusat gelombang ketika batu dilempar di danau yang tenang, riaknya mampu menjangkau batas terujung danau itu. Aku adalah pusat getaran yang memancarkan getaran ke seluruh semesta, aku adalah sumber suara yang menyebarkan suara ke seluruh semesta. Aku ada dimana-mana, dan sumbernya adalah lelaki yang tengah mematung di kegelapan malam itu. Satu titik pusat yang menyebarkan gelombang, menggetarkan dalam vibrasi tanpa henti, bagai gelombang demi gelombang tak terputus.

Setiap pusat getaran seolah dipancarkan oleh lelaki itu, bergetar maka aku menyebar, meluas, menjauh, menyempit, mefokus, lalu mengendap di dasarnya, dalam bagian terdalam di hatinya, di sanubarinya, di otaknya, di sel-sel tubuhnya, di seluruh bagian tubuhnya, dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Aku mengenal setiap bagian tubuhnya. aku mengetahui setiap inchi dirinya, hafal dengan kelemahan dan kekuatannya, nafsu dan emosinya. Sorot matanya, tarikan nafasnya, detak jantungnya, genggangan tangannya, keinginannya, harapannya, kekecewaannya.Seluruh bagian tubuhnya, inchi demi inchi, bahkan bagian yang tak diketahuinya sekalipun.Semua kukenal.

Seolah aku bergerak dalam diamnya, atau sebaliknya aku yang diam saat dia bergerak. Dia yang bergerak dari bayi, lalu balita, berubah menjadi kanak-kanak, bocah, lalu menjadi remaja, dan dewasa, sampai saat ini menjelang paruh baya. Aku diam mengamati perkembangannya, mengamati pertumbuhannya, mengamati seluruh perubahan yang ada di dirinya. Aku diam dalam pengamatan terhadap dirinya. Selama ini aku hanya diam mengamati, melihat, mencatat, detik demi detik perubahan itu terjadi, perubahan demi perubahan itu terjadi, aku diam dalam geraknya, aku diam dalam pengamatan.Aku yang diam diatas geraknya, diatas perubahan yang terjadi pada dirinya. Aku yang mengamati.Semua kuamati.

Aku hanya diam?, ternyata tidak, aku justru bergerak, bergerak secepat kilat, bahkan lebih cepat dari kecepatan cahaya sekalipun, aku diam tapi juga bergerak.Sebagaimana kita mengamati bumi yang seolah diam namun bergerak memutar, sebagaimana kita melihat matahari seolah berputar namun ternyata diam pada tempatnya.
Aku diam, namun ketika detik ini aku bergerak, maka kulihat dia terpaku dalam diam, dia hanyalah sosok, hanya suatu bentuk yang diam, akulah yang bergerak, meluas, melebar, aku mampu mencapai negeri manapun sebelum matamu berkedip, bahkan mencapai ujung galaksi sebelum matamu berkedip pula. Kecepatan gerakku tak terukur, mampu bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain, dari satu abad ke abad lain, dari satu dimensi ke dimensi lain, bahkan dari dunia ke akhirat sekalipun. Aku bebas, menjangkau apapun, memiliki apapun, mendapatkan apapun, melakukan apapun, apapun yang ku mau kudapatkan saat itu juga, apapun yang ingin kulakukan mampu kulakukan saat itu juga, segala cita-cita dan harapan atau segala yang kuinginkan akan kudapatkan sebelum kau kedipkan matamu. namun aku tak tahu arah, kemana akn kutuju? untuk apa lagi?. Itulah aku.

Maka apakah aku diam ataukah aku yang bergerak?.

Lelaki di kegelapan malam itu bergerak, aku seolah tersedot masuk ke dalam dirinya, dan aku menjadi dirinya, terikat, terpenjara dalam tubuhnya. tanganku terikat, kakiku terantai, tubuhku dibebani baju yang memberatkan. Aku terpasung di tubuh ini. aku berontak..., berteriak..., protes..., aku tak mau..., aku tak suka..., bukan tubuh seperti ini yang aku suka. Aku ingin bebas ... aku ingin merdeka.... Aku ingin tak terikat. Dua ternyata itu juga aku, seolah mata uang yang mempunyai dua sisi. Ya, aku punya dua sisi, salah satu sisiku terikat dan terbelenggu, sementara sisi lain yang bebas tidak tahu arah, tidak tahu tujuan, tak menetu tanpa arah, kebingungan, menabrak, menerjang, melakukan apa saja, tanpa keyakinan.
Sedangkan sang penunjuk arah masih terbelenggu kuat-kuat di raga ini.

Mengapa aku terpenjara, disini, di raga ini, keluhku, okelah ...kalaupun harus dalam penjara aku harus memilih, ya harus memilih penjara yang bagus, yang sesuai dengan keinginanku. Ini tidak adil, ini tidak fair, mengapa aku diletakkan disini begitu saja, aku tidak tahu apa-apa, mendadak saja sudah ada disini. Entah berapa banyak pertanyaan, keluhan..., rintihan kukatakan, tak merubah apa-apa, lalu berubah menjadi caci maki dan kemarahan, tetap tak merubah apapun aku tetap ada disini, lalu berdamai dan mengambil peranan, dalam penyesuaian menjadi doa, permohonan dan harapan. Memohon agar menjadi lebih baik namun tetap saja tak merubah apa-apa, aku tetap disini. Akupun ingin bebas, ingin terbang menjelajah alam semesta, sebagaimana salah satu sisiku yang lain, aku tahu arah tujuan kemana yang harus kutuju.

Kupandang lelaki paruh baya itu, nampak matanya meredup dalam kegelapan malam, dalam tekun perenungan, dalam dzikir, dalam puja-puji kepada Sang Pemilik Hidup, dalam kepasrahan, maka seolah rantai yang membelenggukupun terlepas, satu demi satu. Ketika satu pemahaman telah dicapainya, maka satu rantai yang membelenggupun terlepas, sehingga aku mampu menjelajah tubuh ini secara lebih leluasa. Pemahaman demi pemahaman dilakukan dan ternyata memutuskan rantai demi rantai yang mengikatku.

Berapa lama yang harus dilakukan untuk memutus ikatan ini? Aku tak tahu. Yang aku tahu lelaki itu tengah menyekap dirinya bagaiakan seekor ulat yang membungkus tubuhnya dalam serat-serat sutera yang dipintalnya menjadi kepompong. Menyepi dalam perenungan, dalam tafakur, dalam kontemplasi, memutuskan seluruh rantai yang mengikat tubuhku. Agar aku mampu bebas terbang kemana ku suka menjadi kupu-kupu yang merdeka.
........

(Maka tafakurpun dimulai, langit disibak, dalam dzikir, dalam pemahaman jiwa, ruh dan bashirah, dalam kesadaran.
Pintu gerbang telah diba, maka babak permulaanpun harus dimulai, pencerahan untuk mencapai kesempurnaan jiwa).

 Lembah di bawah bukit itu menghijau, ada sungai melebar yang membentuk sebuah danau, Sungai Angsa namanya, sesuai dengan Angsa hitam yang teramat elok yang hanya hidup di daerah ini. Di lihat dari atas bukit sungai itu seolah seperti pinggang seekor naga yang kekenyangan, meliuk-liuk atau seperti sebuah negeri khayal yang penuh kedamaian. Hari masih pagi, matahari mulai menampakkan sinarnya malu-malu, seolah muncul dari balik bukit sambil tersenyum simpul menyapa setiap makhluk yang sudah terbangun dan menikmati kehangatannya, untuk mengagumi kecantikannya, untuk menghargai kedatangannya, menyambut mesra kehangatan yang diberikannya.

Lelaki itu kembali ada di atas bukit itu, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama, tengah menengadah menatap langit, matanya menerawang jauh, apakah dia belum beranjak dari sana, apakah dia sudah pulang semalam dan kembali lagi?. Nampaknya dia begitu menikmati keindahan panorama pagi ini, menikmati kehangatan matahari pagi, nampak dari senyumnya yang terkembang, dari matanya yang berbinar-binar, dari rona wajahnya yang memerah segar, sesegar kehangatan pagi ini. Matanya mencumbu setiap titik yang ditatapnya, mencumbu pucuk daun, mengecup tanah dan rumput yang basah oleh embun pagi, mengelus mesra hamparan permadani pepohonan di kejauhan, berselimut awan pagi yang bersemburat sinar keemasan matahari pagi. Seolah seluruh jiwa dan semangatnya terpaku, terpusat dalam seluruh keindahan alam pagi ini. Entah manakah yang lebih cerah, alam yang penuh pesona ini, ataukah kecerahaman rona wajah lelaki itu yang terbuai oleh keindahan alam semesta ini. Wajahnya nampak berbinar-binar penuh kebahagiaan menyambut datangnya pagi, menyambut datangnya kehidupan, menyambut seluruh keindahan dalam kebahagiaan bersamanya. Kecerahan sinar matahari pagi, kecerahan wajahnya, secara keseluruhan ini seolah menjadi satu kesatuan yang utuh. Seorang lelaki setengah baya menikmati keindahan suasana di pagi hari.

Betapa inginku terbang, melambung tinggi, ke angkasa, menuju batas yang tak tampak dari sini, akan kuajak dia terbang melayang, menuju seluruh penjuru dunia, menjamah, memeluk, setiap bagian yang nampak, namun aku masih terperangkap di dalam tubuhnya, jepitan ini begitu menyiksaku, jepitan masa lalu. Aku hanya mampu memasuki ruang-ruang masa laluku, yang kesemuanya itu berisi catatan dan kisah-kisah duka, setiap catatan dan kisah duka itu seolah mata rantai yang mengikatku.

Ketika kesadarannya mulai menguat, dimasukinya seluruh kamar-kamar ingatan masa lalu, kamar yang berisi duka nestapa, penderitaan, kesulitan hidupan, emosi, kemarahan, kedengkian, kecemburuan, semua kamar yang selama ini tertutup namun rantainya mengikatku.

Dalam tafakur, dan perenungannya, telah dihancurkannya kenangan demi kenangan satu demi satu, maka satu demi satu rantai telah terlepas. Dari pengenalan setiap kamar dalam kenangan itu, semakin dikenalinya dirinya, mengenal dirinya sendiri, setiap tapak, setiap langkah. Ketika semakin dia mengenal diri sendiri, kesadarannya semakin menguat, dia mengenal ada suatu Dzat Yang Maha Sadar, tengah mengatur, tengah merencanakan, memaksanya, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka dalam sebuah garis takdir.

Sebuah kesimpulan telah didapatkan:

Dengan semakin mengenal diri sendiri maka akan semakin mengenal Allah.

Kesadarannya mulai mengenal, tubuhnya, mengenal akalnya, mengenal jiwanya, mengenal ruh dan mengenal bashiroh. Ruh yang terikat dan tertutup oleh nafsu, dan jiwa yang meliar oleh nafsu, ego yang ingin dituruti.

Ketika semua kenangan masa lalunya mulai disingkirkan, kamar-kamar dalam jiwanya yang berisikan kenangan-kenangan pahit telah diruntuhkan, dia telah memaafkan dirinya sendiri, dia telah memohon ampun kepada Tuhannya, sepertinya dia telah kembali suci: maka kembali didapatkan sebuah kesimpulan:

Seluruh perjalanan hidupnya di masa lalu, adalah sebuah pembelajaran yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Maka perlu mencari makna dari setiap kejadian, dari setiap takdir yang terjadi. Sebuah makna yang bersumber dari Sang Pemilik kehidupan bukan bersumber dari Persepsinya.

Jiwa, ruh, bashiroh sudah mulai terangkai dalam suatu kesadaran, yaitu untuk menghadapkan kesemuanya ini dalam suatu penyembahan yang sempurna kepada Sang Maha Sadar. Kesadaran yang bersumber dari Sang Maha Sadar adalah kunci untuk membuka seluruh mata rantai yang membelenggu ruhnya satu demi satu,
- Asumsi-asumsinya selama ini yang tidak benar mengenai orang suci dan orang yang sok suci
- Anggapannya tentang hakekat ibadah dengan ritual ibadah
- Pandangannya mengenai tujuan hidup, terutama masalah takdir
- masih banyak lagi hal-hal mendasar yang lainnya

Keseluruhan pemahaman ini, mulai terbentuk, bagaikan mengumpulkan puzle satu demi satu lalu menggabungkannya, agar membentuk suatu gambar, sehingga semakin terlihat, semakin nyata, semakin jelas, terpampang dalam kesadaran.

Semakin mengenal siapa dirinya, dalam kesadaran, dia mampu melihat wujud Allah. Kesadarannya mampu "melihat" Allah di dalam dirinya, dimana saja, di tunas pohon yang tumbuh, di putik bunga yang bermekaran, di serangga yang terbang di atasnya, di warna warni tanaman, di awan yang berarak, di sungai jauh dibawah bukit yang mengalir tenang, di langit biru, angin yang bertiup lembut. Tak ada sesuatupun di alam semesta ini yang terlewatkan dalam kekuasanNya, baik itu yang materi ataupun yang non materi. Baik itu yang nyata atau yang gaib, yang terlihat maupun yang tersembunyi. Dia yang Maha Halus.

Seperti sebuah magnet yang kuat, menyedot besi-besi, ketika kesadaran lelaki itu mulai mengarahkan kepada Allah, mengarahkan "aku" untuk menghadap Allah, mengarahkan tubuhnya, jiwanya, ruhnya. Maka sempurna tafakur ini menjadi sebuah jalan peretemuan antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Ketika kesadarannya mulai melepaskan "aku", maka mengalirlah "daya" yang berasal dariNya, sebuah daya hidup, sebuah kekuatan hidup, sebuah keyakinan, kebulatan tekad, keteguhan, kemantaban. Iman yang menjadi Niat, menjadi takwa, dalam baju akhlak. Sesungguhnya sholatku, hidupku, ibadahku, matiku, hanyalah kutujukan bagiMu sang Pemilik hidup ini.

Maka selanjutnya, langkah kakinya, mulai menuruni bukit itu dengan langkah tegap, dada kuat membusung, penuh semangat hidup, penuh energy, penuh kekuatan, penuh kepastian, penuh keyakinan, penuh kepercayaan yang kesemuanya itu berasal dari daya hidup Sang Maha hidup. Dia mampu melakukan apapun, dia mampu menjadi apapun, diapun mampu tidak melakukan apapun atau tidak menjadi apapun, selama semua itu ditujukan sebagai bukti cintanya, bukti rasa syukurnya, bukti pengabdianya, bukti penyembahan secara menyeluruh kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah.

Diulang berkali-kali kesimpulan yang didapatkan dari perenungannya kali ini:

- Dengan mengenal diri sendiri maka akan mengenal Allah
- Seluruh takdir yang terjadi pada dirinya adalah sebuah pelajaran yang diberikan olehNya
- hanya ketika dia mampu meniadakan aku, melepas semua rantai maka dia mampu menerima "daya hidup" dari Allah, yang menjadi sumber energy bagi langkah dan kehidupannya.

Dia melanjutkan langkahnya, menuruni bukit, itu sampai hilang di balik rimbunnya pepohonan di bawah bukit itu.

Catatan akhir dari perenungan:
Sebuah perenungan mengenal diri, ternyata adalah proses yang menyakitkan, karena harus membongkar luka lama, merasakan seluruh derita dan penyesalan, aib, penderitaan, duka, masa lampau yang dilakukan dalam proses sesaat. Ada jalan yang lebih mudah yaitu dengan mengenal Allah maka kita akan mengenal diri sendiri, karena Allah akan memberi pelajaran. Namun ternyata jalan yang saya tempuh adalah dengan mengenal diri sendiri untuk mengenal Allah, walaupun jalan ini beresiko, dan agak membahayakan, karena dampaknya terasa pada jiwa dan raga secara langsung dan sekaligus.

Tafakur ini masih berlanjut.

Di bukit itu, masih terlihat lelaki paruh baya disana, namun kali ini tengah duduk dalam diam yang dalam, dlam ketenangan, tak dihiraukannya suasana alam sekitar, cuaca, atau orang yang kadang berlalu lalang. Suara burung bahkan panasnya matahari yang terasa mulai sedikit menyengat tak mampu mengusiknya. Begitu tertarik dan terpesoana akan sesuatu, sehingga pandangannya tak pernah beranjak dari satu titik yang berada beberapa meter jauhnya dari tempat duduknya. Entah sudah berapa lama dia disana. apakah dia tak ada pekerjaan lain selain datang disini dan duduk diam saja, mungkin hanya dia sendiri yang tahu jawabannya.

Matanya tajam, menatap ke satu titik, titik kecil di ujung dahan, bergantung, tertiup angin, bergoyang, ke kanan, ke kiri, berayun-ayun seolah sangat lemah, namun tetap kokoh tak tergoyahkan. Kepompong, yang sepertinya dalam dunianya yang terasing, sendiri, dan hanya menggantungkan sluruh bobot tubuhnya di ujung seutas benang, digoyang angin, dihantam hujan. Dalam perjuangan.

Telah cukup lama dia menatap kepompong itu, entah sudah berapa lama, tak diketahuinya, hanya dirasakannya cuaca yang terasa sejuk di pagi hari, mulai berubah panas, dan menyengat dan kini bahkan berubah sejuk lagi. Ditatapnya terus kepompong yang sedang berusaha untuk keluar dari lubang kecil di ujungnya. Dia tahu nasib kepompong akan berubah, saat ini, apakah dia akan berhasil, ataukah gagal. Apakah akan mati ataukah berhasil menjadi seekor kupu-kupu.

Betapa ingin dia membantu membuka selubung kepompong itu. Menolongnya memberi jalan termudah agar keluar dengan segera, tapi dia tahu pasti bahwa itu justru akan membunuhnya. Dia tahu mengerti bahwa. perjuangan itu diperlukan oleh si ulat yang di dalam kepompong untuk membuang cairan di tubuhnya, sehingga mengecilkan tubuhnya dan juga untuk menumbuhkan dan menguatkan sayapnya agar mampu membawanya terbang nantinya.

Dalam diamnya, dalam kontemplasi, dia merasa. Bukankah kepompong itu seperti dirinya. Menyepi, sendiri, dalam perjuangan, mencari bentuk yang lebih baik. Semakin dilihatnya kepompong itu dalam perjuangan yang sangat berat, meronta dalam belitan serat-serat yang melibatnya, dengan perlahan, menerobos, lalu berhenti, terengah kelelahan, meronta lalu berusaha lagi untuk menerobos keluar untuk melepas belitan yang mengikatnya, dari sarang kepompongnya, dari belitan serat-serat yang mengikatnya erat sekali.

Dalam kesadarannya, kepompong itu adalah dirinya, meronta, berusaha melepas belitan yang begitu kuat mengikatnya, belitan masa lalu, kenangan, derita yang menyakitkan, aib yang memalukan, dosa-dosa yang dilakukannya, perbuatan yang tak layak dilakukan. Dalam dzikir, seolah dia mengejang, memberontak, melepaskan diri dari belitan kenangan itu, pedih pengalaman masa dulu, dan secara nyata tubuhnya merasakan, perih terasa, menyakitkan, sekuat tenaga, sepenuh kemampuan, dia tahu, tak akan ada seorangpun yang akan mampu membantu, perjuangan ini adalah perjuangan pribadi, kesakitan ini adalah kesakitan diri sendiri. Hanya diri sendiri yang mampu mengatasi.

Sampai di suatu titik puncak, kesadarannya menyerah, dia tak mampu lagi bergerak, dia tak mampu lagi berdaya, sekujur badannya sakit, seluruh tulang belulangnya terasa remuk. Badannya terkapar, demam, tenggorokannya terasa terjepit, membengkak. Dia tak mampu makan, minum, bahkan sulit berbicara. Terasa seluuh derita yang dialaminya masa lalu seolah bergabung menjadi satu dan harus dirasakan sekaligus, dia jatuh sakit.

Dia menyerah, dia pasrah, sepenuhnya, total atas kehendak Sang Penentu, kehendak Allah, apapun yang akan terjadi, akan diterima dengan senang hati, suka rela, pasrah, ikhlas, dalam diam, dalam termenung, memaafkan diri sendiri, memohon ampunan Allah.

Maka kedamaian mengalir di dada. Ketenangan menyelimuti seluruh tubuh.
Dalam keheningan, dalam tafakur, dalam doa, dalam dzikir, dalam rasa menyembah sepenuhnya, pasrah, rela, ridho, ikhlas, mendadak terasa daging di bawah lidahnya yang sebelum ini membengkak besar pecah, berdarah, kemudian keluarlah sebutir benda, sebuah butiran yang keras seperti sebutir kacang kedelai.

Diambil dan diamatinya butiran itu. Sebutir benda agak kehijauan yang keluar dari daging di bawah lidahnya sebesar butiran kedelai. Butiran yang sangat keras, sekeras besi, dan sesuatu keanehan terjadi, begitu benda itu keluar, maka semua rasa sakit, demam dan derita yang dialaminya mendadak hilang tanpa bekas, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya darah yang masih mengalir di bawah lidahnya yang masih membuktikan bahwa kejadian itu adalah nyata, dia tadinya sakit agak parah.

Kupu-kupu itu telah keluar dari kepompongnya, melepaskan diri dari belitan dan ikatan benang di seluruh tubuhnya, siap untuk mengepakkan sayapnya terbang ke angkasa. Bentangan sayapnya lebar dan kuat mampu mengangkat tubuhnya dengan mudah. Tubuhnya ringan dan menyusut dengan hilangnya banyak cairan dan kotoran yang memberatkan tubuhnya. Terbanglah, hinggaplah di tempat-tempat yang baik. Meskipun sekali-sekali masih harus hinggap di tempat yang kumuh dan kotor, namun tak akan mengurangi keindahanmu.

Dalam termenung, dalam hening, diresapinya suatu pemahaman. Keberadaan insan yang menyemut mengitari perut bumi,. insan yang meminum segala bentuk zat,.cair, padat, wujud, tak berwujud,.hawa panas, dingin, hangat,.meleleh, kemudian membulat lagi begitu seterusnya,..sampai putaran bumi mengelilingi galaksi yang semakin tua dan pada masanya nanti akan selesai menjalankan tugas, adakah kepompong akan tahu, kapan ini akan usai dan dapat meretas dari ikatan rantai yang terbentuk atas kesadaran dirinya, dan atas kuasa penciptanya.

Dan berlari dengan cepat menghampiriNya, seolah ingin hatinya untuk mengimbangi kecepatan lari sang Pencipta pada dirinya, manakala dirinya membutuhkanNya, maka itulah yang dilihat: Allah selalu bergegas melakukan pertolongan, untuknya, hanya terkadang dirinya tidak menyadari itulah pertolongan untuk bisa lepas dari semua yang membelenggunya.

Menarik raga, mensucikannya dalam sebuah " kepompong " yang sangat kuat mengikat, membuai dengan kehangatan tapi terkadang membuat kesulitan bernafas, di dalam sana tidaklah semua dari kita bisa membentuk menjadi "sesuatu" , manakala hawa dingin dan panas menusuk, membanting tubuh kepompong yang sangat ringkih,.tipis, lemah karna selalu berpindah pindah letaknya terombang ambing oleh alam yang diciptakanNya untuk uji coba padanya, adakah kisaran waktu akan diberikan, adakah semua berujung pada cetakan yang sempurna ....terus berjalan...bergeser....melayang....namun ikatan tetap kuat menjaga, membentuk satu kesatuan, menyusun warna warni, memberi sentuhan pada tiap perubahan,..pembentukan bagian kepala...pusat yang akan menentukan terciptanya anggota-anggota raga lainnya dengan  sempurna,..

Hingga Pencipta meniup ruh,.......ruh yang bersenyawa,.....ruh yang naik kelas,.....ruh yang sesungguhnya, ..bukan uji coba lagi,..kisah ini akan terus berlanjut, hingga ruh selesai bertugas dan membagikannya kepada kita,.menceritakan ulang,,.akan sebuah kisah sewaktu mengemban amanah dalam kegemilangan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan tapi juga membahagiakan..

Dia kini telah berhasil memutus mata rantai yang mengungkungnya setelah sekian lama, hanya seorang diri, dalam jeritan kebisuan, rantai yang terputus bukan tidak mungkin menimbulkan bekas luka, goresan dan titik darah, merembes menembus dinding yang sangat lembut .....bernama kalbu ..maka aka diserapnya dengan ketebalan iman yang senantiasa diberikan tiada hentinya,.secara berlimpah oleh Allah kepada kita, agar luka lekas mengering dan tidak menimbulkan bekas

Sang kalbu yang terbasuh oleh kehangatan embun di pagi hari, dalam hitungan detik bermandikan cahaya yang menyusup ke jiwa,.raga, mulai mengeluarkan senyum ketenangan, syahdu, menimbulkan dentingan suara bak  tetesan air yang mengalir membentuk irama bernotasi ....  beriringan dengan degup jantung yang semakin kuat, .. tanda kesiapan menerima pelajaran baru.

Dia kini selalu berterima kasih kepada sang  masa lalu yang kelabu yang mendekati warna hitam pekat yang karenanya memaksanya berusaha keras untuk dapat keluar dari  jeratan sang gelap menjadi tokoh lakon prima di  sang "masa kini", demikian kita belaja, dan mengambil hikmah dari semua pelajaran kehidupan di masa lalu.
Sesudah semua belenggu terurai dan lepas, maka tak ada lagi dia, tak ada lagi aku, semua menyatu, hilang, fana.
Seolah langit tersibak baginya, dunia menyambutnya, takdir demi takdir baru menghampirinya, sesuatu yang seolah secara logika sudah gagal, berhasil dicapainya. Suatu kejadian yang seharusnya akan membuatnya tersudut dan jatuh justru membuatnya bangkit dan kuat. Banyak kejadian demi kejadian yang seolah memberi tahu kepadanya. "Takdirnya telah ditulis ulang".

Suatu kesimpulan dari perenungannya dan menjadi suatu keyakinan kuat muncul dihatinya:

"Tuhan tidak akan mengubah nasibnya, kalau dia sendiri tidak mengubahnya".

Dia mulai membaca apa skenario Tuhan kepada dirinya. Maka diterima dan disambutnya takdirnya dengan tersenyum.
Selamat datang takdir, kusambut kedatanganmu dengan tangan terbuka.
Mulailah dikembangkan sayap akhlaknya untuk menerbangkan tubuhnya ke arah tempat-tempat yang lebih baik. Insya Allah.


Kisah perjalanan kupu-kupu dalam mengikuti cahaya menuju cahaya diatas cahaya akan dimulai. Seekor kupu-kupu muda yang belum berpengalaman namun bertekad bulat untuk terus terbang dan terbang sekuat sayapnya mengepak, agar mampu menggapai cahaya di atas cahaya.

* d!kutip dr : MaLinTaR : sanG jUaRa *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar